Jakarta: In Need of Improvements
Ini ada artikel tentang opini Masyarakat asing terhadap Jakarta. opini ini sudah beredar dari tahun 2007. Moga2 Gubernur Jakarta sekarang dan jajaran pimpinan Pemda Jakarta baca artikel ini (meskipun repost) sehingga tergerak hatinya untuk membenahi Jakarta.
Andre Vitchek
Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested traffic arteries and super-malls have become the cultural centers of gravity in Jakarta , the fourth largest city in the world. In between towering super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers, who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.
Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta, yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di dunia. Terjepit di antara gedung tinggi, terhampar perkampungan di mana bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses sanitasi dasar, air bersih atau pengelolaan limbah.
While almost all major capitals in the Southeast Asian region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately ‘pro-market’ profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.
Di saat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara menginvestasikan dana besar-besaran untuk transportasi publik, taman kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, gedung konser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib mayoritas penduduknya yang MISKIN.
Most Jakartans have never left Indonesia , so they cannot compare their
capital with Kuala Lumpur or Singapore ; with Hanoi or Bangkok. Comparative
statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact
that the Indonesian capital is for many foreign visitors a ‘hell on earth,’ the
local media describes Jakarta as “modern,” “cosmopolitan, ” and “a sprawling
metropolis.”
Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri,
sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan Kuala Lumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok. Liputan dan statistik pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota “modern”, “kosmopolitan” , dan “metropolis” .
Newcomers are often puzzled by Jakarta ’s lack of public amenities. Bangkok, not exactly known as a user-friendly city, still has several beautiful parks.
Even cash-strapped Port Moresby, capital of Papua New Guinea, boasts wide
promenades, playgrounds, long stretches of beach and sea walks. Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila, another city without a glowing reputation for its public amenities, has succeeded in constructing an impressive sea promenade dotted with countless cafes and entertainment venues while preserving its World Heritage Site at Intramuros. Hanoi repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into an open-air sculpture museum.
Para pendatang/wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi
Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal
sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin, terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak di pinggir laut yang indah.
But in Jakarta , there is a fee for everything. Many green spaces have been
converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately
one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.
Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Banyak lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor.
Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend approximately
$4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees, something unthinkable
anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived
privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.
Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk, satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia. Beberapa taman publik kecil kondisinya menyedihkan dan tidak aman.
There are no sidewalks in the entire city, if one applies international
standards to the word “sidewalk.” Almost anywhere in the world (with the
striking exception of some cities in the United State, like Houston and Los
Angeles) the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly
discouraged from travelling in the city centres. Wide sidewalks are understood
to be the most ecological, healthy and efficient forms of short-distance public
transportation in areas with high concentrations of people.
Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota (tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar “internasional”). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapa kota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang lebar merupakan sarana transportasi publik jarak pendek yang paling efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk.
In Jakarta , there are hardly any benches for people to sit and relax, and
no free drinking water fountains or public toilets. It is these small, but
important, ‘details’ that are symbols of urban life anywhere else in the
world.
Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak
ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat
penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.
Most world cities, including those in the region, want to be visited and
remembered for their culture. Singapore is managing to change its
’shop-till-you- drop’ image to that of the centre of Southeast Asian arts. The
monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline, offering first-rate
international concerts in classical music, opera, ballet, and also featuring
performances from some of the leading contemporary artists from the region. Many performances are subsidized and are either free or cheap, relative to the high incomes in the city-state.
Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota
belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Theatre yang
monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, di samping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relatif tinggi.
Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, which is
located right under the Petronas Towers, among the tallest buildings in the
world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra
companies as well top international performers. The city is currently spending
further millions to refurbish its museums and galleries, from the National
Museum to the National Art Gallery.
Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser
philharmonic yang terletak persis di bawah Petronas Tower, salah satu gedung
tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresif ini mempertunjukkan
grup orkestra lokal dan internasional. Kuala Lumpur juga sedang
menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari
Museum Nasional hingga Galeri Seni Nasional.
Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major attraction millions of visitors flock into the city to visit countless galleries
stocked with canvases, which can be easily described as some of the best in
Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western
and Asian music treats.
Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung jumlahnya, di mana lukisan tersebut merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat.
Bangkok’s colossal temples and palaces coexist with extremely cosmopolitan fare international theater and film festivals, countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world. When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in Southeast Asia as vibrant as Manila.
Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitung jumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia. Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara yang semeriah Manila .
Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city’s ‘public
libraries’ or National Archives building will know the difference. No wonder; in
Indonesia education, culture and arts are not considered to be ‘profitable’
(with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country spends the third lowest amount in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).
Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung
ke “perpustakaan umum” atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap “menguntungkan” (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan. Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negara tersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baru yang progresif).
Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no
important international exhibitions. They look like they fell on the city from a
different era and no wonder the Dutch built almost all of them. Not only are
their collections poorly kept, but they lack elements of modernity there are no
elegant cafes, museum shops, bookstores or even public archives. It appears that the individuals running them are without vision and creativity. However, even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them
out.
Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak
menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.
It seems that Jakarta has no city planners, only private developers that
have no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great
majority, no matter what the understated and manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public
areas.
Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang
swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik.
While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed to fully
eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas,
Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable
housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.
Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kuala Lumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan
warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain, trotoar dan sistem transportasi massal.
Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants boasts
one metroline (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines,
suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its
new capital Putrajaya. The “Rapid” system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on “Rapid” costs only $.60 (2 Malaysian Ringgits) for unlimited day use on the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.
Selain Singapura, Kuala Lumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putrajaya. Sistem “Rapid” memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4.600,00) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.
Bangkok contracted German firm Siemens to build two long “Sky Train” lines
and one metro line. It is also utilizing its river and channels as both public
transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous progress, the Bangkok city administration claims that it is building an additional 50 miles
(80 kilometers) of tracks for these systems in order to convince citizens to
leave their cars at home and use public transportation. Polluting pre-historic
buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta, thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in this field.
Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang “Sky Train” dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai transportasi publik dan objek wisata. Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur
tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan transportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok. Jakarta? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut.
Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of poor African and South Asian cities, below metropolises like Nairobi and Medellin.
Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di Afrika dan Asia Selatan, bahkan di bawah kota Nairobi dan Medellin
Considering that it is in the league with some of the poorest capitals of
the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource
Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how is it for local people with a GDP per capita below $1,000?
Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup di sana tidaklah murah. Menurut Survey Mercer Human Resource Consulting tahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk ekspatriat, jauh di atas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74) dan Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspatriat saja mahal, apalagi buat penduduk lokal yang pendapatan per kapita DI BAWAH $1000??
Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air
quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even
selling themselves at the major intersections; to entire communities living
under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps; to the hours-long commutes; to floods and rats.
Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam, dengan banjir dan tikus.
But if there is to be any hope, the truth has to eventually be told, and the sooner the better. Only a realistic and brutal diagnosis can lead to treatment and a cure. As painful as the truth can be, it is always better than self-deceptions and lies. Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighbouring countries in aesthetics, housing, urban planning, standard of
living, quality of life, health, education, culture, transportation, food
quality and hygiene. It has to swallow its pride and learn from Kuala Lumpur,
Singapore, Brisbane and even in some instances from its poorer neighbours like Port Moresby , Manila and Hanoi.
Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh di belakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman, kebudayaan, transportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kuala Lumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi.
Comparative statistics have to be transparent and widely available.
Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change. “We have to watch out,” said a concerned Malaysian filmmaker during New Year’s Eve celebrations in Kuala Lumpur . ” Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta!”
Data statistik harus transparan dan tersedia luas. Warga harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas. Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan. “Kita harus berhati-hati” kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di Kualalumpur. ” Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak hati-hati, dalam 20-30 tahun Kuala Lumpur akan bernasib sama seperti Jakarta!”
Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize in time catch up with Kuala Lumpur ? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand?
Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kuala Lumpur? Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil, dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan,
sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?
An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.
Orang luar seperti saya hanya dapat mengamati, bercerita, dan bertanya. Dan hanya masyarakat Jakarta yang punya jawaban dan solusinya.